Kambing congek

Kadang, penghancur impian kita bukanlah siapa-siapa, melainkan orang tua kita sendiri. Mungkin tidak secara langsung, juga tidak disengaja, tapi jelas, sangat luar biasa efektif. Menyaksikan kecurangan yang mereka lakukan dengan gampangnya sementara kita mati-matian mempertahankan idealisme diri di sekolah, secara efektif menjadikan dogma-dogma keadilan bak dongeng pengantar tidur belaka. Miris, namun memang demikian adanya. Ketika kita ketakutan dengan baris-baris kecurangan meski hanya bernilai ratusan rupiah saja, menyaksikan keluarga kita menyodorkan ratusan ribuan agar mendapat berbagai kemudahan terkait birokrasi membuat kita serasa menjadi kambing congek. Bagaimana tidak, bagaimana tidak?!. Ketika kita berpanas-panas mencela pemerintahan yang sadah demikian korup, berorasi dengan lantang dan penuh semangat, menyaksikan orang tua kita sendiri ambil bagian didalamnya.. ah, saya tak mau! Benar-benar tak mau! Bertumbuh menjadi seperti mereka.
Melihat bagaimana mereka, menjadikan saya semakin takut, demikian takut untuk bertumbuh menjadi penerus kekeliruan yang ada. Karena perlahan dan bertahap, tubuh ini seolah secara otomatis mengkopy-paste, tak hanya yang baik, tak sekedar yang baik. Kadang, bahkan terpikir, jika hidup ini lebih baik berakhir jika pada akhirnya hanya terus dan menjadi penerus dosa. Secara pasti, segala impian saa tentang dunia dengan penuh keidealisan semakin samar. Saya merasa lemah dan semakin lemah untuk menjadi agen perubahan. Terkikis dan terpinggirkan, saya menyekap idealisme diri dalam bilik gelap hati, melepaskan keegoisan dan eksistensi. Merasa demikian ambigu dengan nilai-nilai yang dulunya saya percayai bahkan perjuangkan. Merasa semua yang telah terlewat menjadi demikian sia-sia karena tak mengejar ego seperti yang lainya. Ah! Sudah!.

0 komentar:

Posting Komentar