Kamu tau teman, sering sekali Aku
berada pada keadaan yang demikian rendah, pada titik terendah itu, lebih bukan
apa-apa melainkan karena imanku yang terus merosot. Bukan karena keadaan,
apapun terasa mudah ketika Allah teraba demikian dekat. Namun, ketika kesalahan
yang sama terus dan terus terulang seolah mati demikian jauh. Pada titik itulah
saya demikian putus asa. Lebih baik mati jika hidup ini sudah tak dapat bermanfaat
lagi, jika hanya dosa saja yang terus bertambah.
Kau tau teman, sejenak berpikir
demikian dan dengan demikian tiba-tiba kabar itu terdengar. Salah seorang
saudara saya meninggal. Terakhir ketika saya pulang kemarin, ia masih baik-baik
saja, masih dengan jiwa mudanya. Lantas, demikian tiba-tiba… kecelakaan itu
terjadi
Dua hari kemudian giliran senior
saya, kecelakaan lalu lintas, malamnya sang senior masih mengupadate status di fb,
menceritakan tentang ibunya.
Dulu, ketika saya SMA, saya masih
sempat bercanda dengan teman sekelompok saya praktikum kimia, masih memaksa
pinjam catatanya, sepulang sekolah masih sempat kawan saya itu menggoda saya di
perempatan SMA. Ketika lampu merah dan saya berhenti, alih-alih teman saya ini
berhenti, ia malah menyalip saya dan dengan sengaja mengerem motor sejenak
ketika motornya tepat di depan motor saya. Tak disangka, paginya saya mendapat
kabar bahwa ia meninggal kecelakaan sore itu juga.
Mbah yut, adek ipar mbah saya, paman,
satu demi satu secara berurutan meninggal tanpa disangka..
Ketika mendengar kabar-kabar
mendadak itu, Lantas, tiba-tiba, kemarin itu tak lagi penting, puluhan cawan
petri saya yang entah siapa yang ‘meminjamnya’. Sikap kurang menyenangkan dari
almarhum. Orang-orang yang lebih memilih membicarakan sikap tidak baik saya
dibelakang daripada menegur dengan baik di depan. Adek saya yang sering melakukan
hal-hal tak terduga yang membuat saya was-was. Masalah-masalah yang saya
keluhkan tiba-tiba menjadi tak penting. Saya, saat ini sedang menunggu giliran,
giliran menghadapNya. . . lantas tiba-tiba saya menunduk, saya tak punya apa-apa untuk
dijadikan hujjah, sekedar pembelaan diri jika Allah murka. Tak ada kebaikan
yang saya ingat dapat memebratkan timbangan kebaikan. Lantas,, semua dendam,
kemarahan, arogansi, kesombongan, kekhawatiran, harga diri tiba-tiba menjadi
tak lebih berharga dari debu. Hanya menyisakan kekonyolan….
Permintaan maaf tiba-tiba menjadi
lebih bernilai dari harga diri, pemaafan tampaknya lebih bermanfaat daripada
ego, kehidupan setelah mati tiba-tiba menjadi sebuah fokus untuk tak lagi
mengejar gengsi dan ambisi rendahan berprioritas materi. Lantas tiba-tiba mudah
saja menerima mereka yang melukai saya demikian dalam di masa lalu. Tak penting
lagi mempermasalahkan siapa yang salah. Hanya terpikir bagaimana cara
memperbaiki keadaan, sebuah titik dimana saya demikian berfokus, hanyalah
ketita saya mengingat dan memahami, bahwa waktu saya di dunia ini tak banyak
lagi..hah,,apapun yang terjadi, saat ini saya masih hidup, bagaimanapun keadaanya, saya masih diberiNya kesempatan memperbaiki.sudah seharusnya saya bersyukur dengan terus berjuang...
Ya Allah,, janganlah ENgkau membiarkan hambaMu ini kembali kejalan
kesesatan setelah Engkau Memberinya petunjuk, masukalah aku dengan jalan yang
baik dan keluarkan aku dengan jalan yang baik pula, sesungguhnya Engkau Maha
Perkasa lagi Maha Mulia.