pak edy, great teacher onizuka versi jawa

Namanya pak Edy. Sebagai guru M.I. di sebuah sekolah desa, beliau mengajar pelajaran IPS merangkap guru olahraga merangkap pembina pramuka. Ia termasuk guru muda kala itu, sukuan istilahnya, tentu saja dengan gaji sangat luar biasa kecil dan jauh dari cukup untuk biaya hidup. Namun, hal itu tidak mengurangi dedikasi beliau dalam mengajar. Untuk menambah penghasilan ibu beliau menjual jajanan kecil di kantin sekolah.

    Secara fisik pak edy memiliki postur yang tinggi, suaranya keras, hidungnya mancung melebihi rata-rata, begitu juga jerawatnya, iseng-iseng aku pernah menghitungnya, dan luar biasa, jumlahnya melebihi jari-jariku. Ketika beliau mengajar pelajaran IPS kala itu, aku membandingkan wajahnya dengan gambar kontur pegunungan di dataran cina yang ditunjukanya dengan penuh semangat. Hahahaha. Ketika beliau menghukumku, dan aku merasa kesal, aku selalu menghitung jerawat berikut kawah bekas jerawatnya. Lantas jadilah aku terkikik-kikik macang orang gila atau kesurupan.


Murid-murid yang lain akan merinding sementara beliau akan tertular tawaku. Lantas bertanya apa yang menyebabkan tawa terkikik miliku muncul. Dan bisa ditebak, posisipun berganti, gantian beliau yang marah, aku merinding, dan murid-murid yang lain tertawa. Sial! Mulutku selalu apa-adanya dan tanpa tendeg aling-aling ketika menjawab sesuatu.
   

Pak Edy lain dari guru yang lain dalam mengajar, ia sangat suka memberi murid-muridnya tantangan. Bayangkan, ketika kami kelas 4SD, kami sudah diharuskan menghapal peta buta, berikut nama negara-negara dunia,ibu kota serta kota penting lainya, juga SDA masing-masing. Kata beliau, agar kita bisa maju, maka kita harus memetakan potensi masing-masing daerah, dan membius kami dengan rencana-rencana konyol seputar mengeksploitasinya. Konyol kubilang, karena kami saat itu hanyalah anak tingkat sekolah dasar di sebuah madrasah ibtidaiyah swasta (saat itu kami belum berstatus sekolah negeri), di sebuah sekolah desa pula. Dan yang lebih konyolnya, kala itu aku demikian percaya dan menghapal satu demi satu bagian dari peta buta itu. Anak kecil memang mudah diprovokatori.


Padahal kala itu usia rata-rata kami tak lebih dari 10 tahun. Kebanyakan orang tua kami adalah petani dan buruh tani, beberapa menjadi kalangan elit dengan menyandang status sebagai anak guru. Sekolah adalah kemewahan bagi sebagian besar dari kami. Tak ada jaminan bahwa orang tua kami tidak akan sakit, lantas terpaksa membuat kami membantu mencari nafkah di sawah. Dan itu berarti kami putus sekolah. SPP kami mungkin tak mahal, buku paket sekolah kami dipinjami kakak kelas, seragam bisa pula dari warisan tetangga, tapi perut perlu diisi, biaya perut tak bisa dinego seperti biaya sekolah. Tak sekolah tak mati. Demikian pemikiran sebagian besar orang tua kami.


Jadilah motivasi-motivasi pak Edy seputar melanglang buana ke berbagai negara dunia dan mengekploitasi potensi daerah disana menjadi demikian konyol dimataku. Beh! Menghapal petanya saja sudah demikian rumit begini, apalagi pergi kesana dan mengelola SDA-nya. Tapi sekali lagi, pemikiran itu muncul setelah aku sukses diprovokatorinya, dan hafal bagian demi bagian dari peta buta itu di luar kepala.
Suatu ketika kami disuruhnya menggambar peta skala. Niat beliau meracuni kami untuk melanglang buana keberbagai negara dunia nampaknya memang benar-benar serius. Sampai galau setengah mati kami mengerjakanya.
Apalah-apalah tugas itu. Jauh men....

 jauh....

jauh dekat 3ribu (itu tarif angkot keles)

bisa makan layak saja rasanya sudah cukup puas. Tapi, sialnya, aku yang demikian polos dan lugu berhasil untuk semakin teracuni juga, jadilah rambutku yang awalnya lurus macam potongan bob, menjadi keriting macam pak Edy. Setiap hari kerjaku membolak-dan balik peta buta dan merancau mimpi kesana. Hahaha melanjutkan ke SMP saja aku tak ada rencana. Persetan dengan masa depan. Hidupku Cuek bebek dan mengalir begitu saja. Tanpa rencana. Ini, mau keluar negeri.
Bukan, bukan karena tak ada biaya. Aku termasuk manusia yang beruntung karena meski kakek dan moyangku petani sejati, yang setia berada di garis kemiskinan. Namun ketika usiaku 7 bulan dan ibuku memutuskan bercerai dari ayahku. Ibuku nekad berangkat sebagai TKW ke Arab Saudi. Jadilah aku termasuk manusia beruntung yang jarang menunggak SPP dan telat membayar iuran. Meski sikap irit bin pelit bin medit neneku yang keterlaluan, namun SPP dan perangkat pembelajaran adalah prioritas bagi keluargaku.


Jangan dulu men-judge-ku kurang ajar dengan menjuluki neneku sendiri sebagai titisan nyai bagendit (tokoh mitologi jabar yg peli dan menjadi rentenir). Karena kenyataanya memang begitu.

Neneku pernah membuatku memakai seragam bolong dan berangkat sekolah dengan tas kresek sampai aku menjadi bulan-bulanan anak-anak di kelas berikut para guru. Tetapi secara garis besar, kebutuhan pokok-ku untuk sekolah tercukupi. Tak bisa kubilang berlebih, tapi cukuplah. Hah.... kau tau, neneku bergelar cina mata lebar di desa ini. Pelitnya minta ampun. Tapi jangan salah sikap super bersahaja( alias pelit ini) membuat neneku dapat bertahan tanpa tersentuh lintah darat ataupun skema pinjaman berbunga lainya. Tak seperti kebanyakan warga desa ini. Neneku bahkan dapat membeli peata-petak sawah tanpa bantuan orang tuanya. Kalian tau, setiap orang punya sisi keren dan sisi mengesalkanya sendiri.


Kembali ke topik, sikap membully anak-anak di sekolahku benar-benar mengerikan, tak hanya ucapan, namun juga beranjak pada tindakan. Pembullyan tak sekedar berupa pengucilan, Buku paketku pernah disobek-sobek, kerudungku pernah dilempari bunglon (ngerti kan kuku bunglon itu kuat sekali ketika mencengkeram. Kerudungku sampai sobek loh. Sangking kuatnya si bungkon mencengkeram, dan jangan bayangkan bunglon yang dipakai menakutiku imut kecil dan lucu, si bunglon sudah tua dan lebih mirip biawak sangking gedenya), ngeri lah pokoknya.


Menjadi anak yang berasal dari orang tua yang bercerai sedikit banyak membuatku berada pada posisi termarginalkan. Kalian tau sendiri kan tentang korelasi antara orang desa dan gosip. Dan anak-anak seperti kami suka sekali menguping ketika orang tua kami bergosip, lantas meniru-nirunya. Musuh bersama perlu diciptakan agar hidup kami yang susah dan monoton menjadi lebih berwarna. Jadilah selama 6tahunku di sekolah dasar menjadi ujian penempaan karakterku, tahan bully, tahan banting, meski jelas hatiku ini bukan untuk dibantig-banting.


Salah tak salah aku akan tetap di bully dan dijauhi. Hari-hariku kala itu demikian terasa suram. Hitam kelam bagai malam yang mendung dan hujan. Rasanya seperti berada di terowongan casablanca. Melangkah dalam gelap pekat, satu harapan untuk bertemu cahaya di ujung sana. Yang entah kenapa terasa demikian lama. Pernah aku demikian sumpek, membolos sekolah selama satu bulan. Memakai seragam, berangkat sekolah seperti biasa, namun berbelok ke sawah dan bersembunyi lantas menghabiskan waktu di rumpun bambu hingga jam pulang sekolah tiba.
Lalu pulang ke rumah bergaya lelah lantas tidur sampai magrib. Sampai laporan dari guru datang ke telinga kakeku, dan akupun sukses dipukuli dengan kayu lamtoro. Amboi kawan!, kalian tau kayu lamtoro itu ajaib sekali, kayunya yang dipilih kakek selalu saja yang kecil dan lentur. Ketika dipakai menyabet kakiku, kayu itu seolah bergetar dan beresonansi. Konon katanya, jin yang merasuki seseorang hingga kesurupan saja kapok dan langsung lari jika dibacakan ayat kursi dan disabet kayu lamtoro.

 Itu jin teman!, jin!.

Lantas bagaimana denganku?,

jangan harap!

Aku lebih bebal dari jin sekalipun,

Menangis?, iya!.

Sakit, iya!.

Kapok?, tidak lah yau!,

sesakit-sakitnya luka kakiku, lebih sakit luka hatiku diperlakukan bak murid tiri disekolah. Apa-apa saja yang kulakukan selalu salah. Setiap hari ada sajalah akal-akalan anak-anak itu untuk mengerjaiku. Bosan!. Dunia sekolah terasa sempit dan melelahkan kala itu. Aku sudah kelas 4 kala itu. Itu artinya hampir 4 tahun sudah hari-hariku diiisi praktek kesewenang-wenangan mereka. Kakek dan nenek, meski demikian sayang padaku, namun tetap, usia renta beliau-beliau ini membuat aku kurang diperhatikan. Tak ada bantuan pada tugas sekolah. Tak ada pertanyaan seputar apa yang kubutuhkan. Apa yang terjadi selama di sekolah. Jadilah teman-temanku semakin meraja lela saja.

Dan kau tau, aku nyaris selalu bolos pada semua pelajaran kecuali pelajaran IPS dan olahraga. Tak perlu merasa aneh. Meski sering sekali mencubit dan menjewerku ketika aku tidak mengerjakan PR, atau ketika aku melamunkan buah mangga yang ranum disamping jendela kelas ketika beliau mengajar.


Pak Edy adalah manusia langka berstatus guru yang tidak mendiskriminasikanku. Bukan hanya karena status orang tuaku yang bercerai, sikap dan penampilanku demikian unik. Nyata sekali terlihat bagai barang rapuh yang tak terurus. Berkurang satu atau dua kilo lagi aku bisa dimasukan status kurang gizi. Sikapku cuek dan sama-sekali tidak ramah. Dan anehnya, orang itu masih mau peduli pada anak ajaib macam aku ini. Padahal aku tau sekali betapa mengenaskanya gaji guru sukuan sekolah swasta di desa. Hei, jangan pula bertanya-tanya darimana aku tau beliau sayang padaku dan tidak mendiskriminasikan murid-muridnya. Kami sebagai anak-anak memiliki radar super untuk mengetahui ketulusan orang dewasa. Semacam indra keenam lah istilahnya. Kami memiliki kepekaan pada bahasa tubuh manusia yang mencerminkan rasa sayang melebihi cerminan yang ditampakan oleh bahasa verbal. Dan tak seperti kanak-kanak lain yang biasanya kehilangan kemampuan ini setelah melewati usia balita. Aku masih memilikinya sampai SD. aku tak sekedar GR loh, juga tak sekedar bercanda, ini adalah salah satu buktinya, baiklah akan kuceritakan.


Hari ini hari piket. Aku benci piket di musim hujan. Air yang menggenang dimana-mana. Jamur yang demikian cepat tumbuh. Kutu kaki yang meraja lela. Tapak kaki murid-murid kami yang membawa oleh-oleh lumpur ketika berangkat sekolah. Dan guru-guru yang hobi mebuat bergelas-gelas teh hangat melebihi hari-hari tanpa hujan. Jadilah kami yang piket ini harus mencuci jumlah gelas yang nyaris 3x dari hari biasanya.


Aku sedang mengabsen nama nama binatang ketika kulit tanganku mulai mengkerut lantaran lamanya bersinggungan dengan sabun dan air. Tak hanya mencuci gelas, aku tadipun harus mengepel lantai kelas yang digambari anak-anak dengan sepatu mereka. Dan jangan bayangkan alat pel kami bergagang kayu macam sekarang. Settingan cerita Ini tahun 90 puluhan kawan, di sebuah sekolah madrasah ibtidaiyah swasta, dan berlokasi di desa pula. Kain pel kami adalah kain pel biru yang harus dipegang dan diperas langsung dengan tangan. Mengepelnyapun harus berjongkok macam inul pelayan seksi. Sudah-sudah, tak usah macam-macam membayangkanya. Pelaku cerita ini adalah anak SD berumur 10 tahun dengan rambut ikal dan badan kerempeng gepeng yang nyaris difatwakan kekurangan gizi. Oke! Kembali kecerita.


Membawa baki yang penuh gelas kembali keruang guru, aku sedikit tersenyum. Luka hati akibat jatah piket kelompok yang nyaris semuanya kukerjakan sendiri sedikit pudar, mengingat biasanya bu Endang atau pak Edy akan memberikanku satu atau dua gorengan jatah para guru ketika aku mengembalikan gelas ke almari kaca. Kau tau aku nyaris tak pernah sarapan, tanpa disengaja perutku sering kali berkukuruyuk macam ayam jantan diruang guru. Ditambah dengan tampilan memelasku, maka lengkap sudah. Aku akan memancing naluri keibuan dan kebapakan seseorang. Yah, atau setidakanya naluri semacam yang kalian rasakan ketika ada kucing kurus kering mengeong-ngeong ketika kalian makan di warteg. kalau tak lempar makanan, ya lempar tendangan. Hahaha untungnya di hari piketku  aku selalu terjebak dengan dua guru yang baik hati itu. Makanya, ketika para temanku keder untuk mengembalikan gelas-gelas dan piring ke almari kaca di ruang guru. Aku selalu santai saja. Bukanya apa-apa, aku sudah terbiasa menghadapi dan membuang jauh ketakutan tanpa alasan macam itu. Ingat kan betapa 6tahun masa sekolah dasarku ditempa dengan pembullyan dari kalian. Ups!. Tapi memang itu kenyataanya, aku terkadang heran dengan rasa takut dan malu teman-teman ketika menghadapi guru atau maju didepan kelas. Kenapa harus takut pada yang tak menimbulkan luka. Aneh. Tapi, sejak kapan sesuatu yang bernama perasaan itu tak menjadi aneh?. Bukankah perasaan selalu mengesampingkan logika. Tak terarah dan harus dipilah?.


Namun sialnya, belum sempat aku ditawari gorengan, Warianti, kawan piketku itu memanggil namaku dari luar ruang guru. Aku sudah pura-pura tuli dan berlambat-lambat menata gelas di almari kaca. Namun sialnya musuh bebuyutanku itu tetap memanggil-manggil namaku. Sampai akhirnya bu Endang mengingatkanku. Kembali aku berkomat-kamit merapal mantra nama binatang. Perutku melilit-lilit lagikah siang ini. Setelah mengangguk untuk kesopanan pada bu Endang akupun keluar. Dengan tampang kesal kutanya singkat dan tepat sasaran.

“Ada apa?”


“eh, eh, jangan kesal begitu, hasil pengumuman pre-test ujian percobaan UAN sudah keluar loh”, kata Warianti dengan wajah sumringah sambil menunjuk kertas pengumuman yang tampaknya baru ditempelkan didiepan ruang guru. Aku sudah agak curiga dengan senyum sumringah itu. Pasalnya, aku dan warianti ini adalah dua makhluk yang ditakdirkan untuk menjadi musuh alami. Seperti air dan api atau tom and jerry. Warianti adalah makhluk wanita yang suka sekali dengan fashion dan belanja, baginya penampilan nyaris segalanya. Sementara aku adalah makhluk dengan kadar kecuekan diatas rata-rata yang masa bodoh dengan fashion dan tetek bengeknya. Meski kami sama-sama pecinta pasar malam. Aku adalah type yang akan bergabung dengan anak lelaki di stand ikan mas atau gasing dan jajanan. Sementara waria dimanapun tempatnya akan selalu melirik stand accesoris dan baju.


Si Waria adalah makhluk terorganisir yang merencanakan semua hal sampai sedetil-detilnya, suka sekali dengan lagu dan gosip. Sementara aku nyaris tak peduli gosip, diri sendiri saja tak ku urusi, apalagi urusan orang lain, hidupku mengalir begitu saja, dan kakeku yang imam masjid akan langsung mematikan radio jika siaran berita kuganti dengan siaran dangdut. Jadilah aku buta lagu, gosip dan fashion. Dunia yang dipuja waria satu ini, bagiku teraba bagai salah satu petak sawah di planet mars, tak terdefinisi. Lantas sebagaimana logika anak SD, akupun di blacklist dari radar pertemanan warianti dan ditendang ke dunia permusuhannya, lagi-lagi tanpa alasan yang jelas dari seorang warianti. Hal yang sama akhirnya kulakukan padanya. Kami pun pada ahirnya sama-sama menjadi 2 tokoh antagonis disini. Hahaha. Aku dengan logika-ku dan warianti dengan emosinya, adalah dua kutub bumi yang taka kan pernah menyatu karena katulistiwa.
Kembali ke topik, begitu menemukan namaku diperingkat 5 terbawah. Tiba-tiba aku memahami kenapa tadi si waria ini tersenyum sumringah. Sebenarnya aku tidak peduli berada diperingkat nomer berapapun. Sebelum kemudian si waria ini membua mulutnya.

“wah, kamu harus berusaha lagi yah um” waria ini terkikik-kikik.

 “kamu mau lanjut ke sekolah mana, kalau aku sih pengen ke SMP 6 Ponorogo”, waria terus saja menyerocos.

Pertanyaan seputar aku mau melanjutkan kemana tadi rupanya Cuma sekedar pertanyaan retoris. “seneng deh pastikanya bisa sekolah di kota” kata si waria sambil maju ke papan pengumuman dan menelusuri urutan nama anak-anak lantas berhenti di namanya yang berda di urutan 5 teratas. “apalagi SMP 6 kan sekolah terbaik no 2 seponorogo”.
Lah, apa peduliku.pikirku dalam hati

 “kamu mau juga ke SMP 6 bareng aku?” Amit-amit, dan ketemu mak lampir kaya kamu yang akan membullyku setiap hari lagi.

“eh, lupa. Kamu kan 5 terbawah kan ya. Jadi ngak bisa masuk SMPN 6. Ke MTS XXY saja. Disana semua yang daftar pasti diterima”. Kata si waria sambil berlalu menuju kelas begitu saja. Meninggalkanku dengan harga diriku yang tercabik-cabik. Kalian tau MTS XXY itu adalah sekolah paling termarginalkan di desaku. Muridnya bisa dihitung dengan jari tangan. Tentu saja semua yang daftar diterima. Lha wong ada yang mau daftar saja sudah syukur.

“waria!” panggilku

Dia langsung saja berbalik. Menghentak-hentakan kakinya kesal. Kalu di film kartun, mukanya pasti sudah sangat merah dan telinganya keluar asap. Tapi sayangnya ini dunia nyata. Jadinya di mataku yang sedang kulihat hanya gaya macam bebek ngamuk, berkoek-koek dan bergoyang-goyang tak jelas. Kwek koek, kwek koek. Telolet teblung!.

“anti!, panggil aku anti”. Saat ini sedang nge-trend sinetron tersanjung yang level mbuletisasinya membuat sinetron
ini sampai pada session 7. Nah, tokoh utama sinetron ini bernama anti dan menginspirasi si waria untuk menyatakan secara langsung didepan anak-anak bahwa nama panggilanya berganti menjadi anti. Beh! Anti nyamuk kali. Padahal kalau sedang tidak kesal akibat ulahnya yang mengesalkan. Si waria ini lumayan mirip wajahnya dengan si tokoh utama sinetron itu. Wajah mereka sama-sama manis khas orang jawa dan rambut mereka sama-sama lurus tebal dan berkilau.
“anti nyamuk, ada ulat tuh di kerudung bagian belakangmu”, kataku sambil memindahkan ulat dari daun di pot ruang guru kekerudung si waria.

Dan langsung saja si waria heboh dan terlunjak-lunjak sambil menangis ketakutan. Aku?, jangan harap aku berbelas kasian. Langsung saja aku beranjak ke kelas sementara anak-anak dan guru berdatangan pada asal suara kehebohan a.k.a warianti. Lebay menurutku, mengingat seekor ulat kecil hanya menyebabkan gatal-gatal dan tak akan membuat mati. Sementara aku, kembali duduk di bangku kalas deret no 2. Sambil menyembunyikan kepalaku dengan menelungkup di meja. Menahan tawa terkikiku pada ulah lucu si waria.

Hari itu kembali berlalu dengan ceria. Meski perutku melilit-lilit lantaran lapar. Tapi setiap membayangkan tingkah super heboh si waria pagi tadi. Moodku kembali membaik. Kudengar-dengar kami juga akan pulang cepat lantaran besok ujian nasional. Kupandangi mangga2 ranum yang bergelantungan pada pohon diluar jendela kelas. Kuelus perutku yang berkukuruyuk macam ayam jantan. Cacing-cacing diperutku sudah berdemo. Mungkin karena kesal karena sudah berdemo sedari tadi dan tidak jua mendapat makanan, mereka memakai jasa buldozer untuk menggerus diding lambungku. Jadilah perutku terasa perih sekali.

“haduh... anak ini, kalau dia ajar kok melamun saja ” kata pak Edy sambil menjewer telingaku. “dengar tidak pengumuman tadi, besok UAN, datangnyatidak boleh telat, pakai seragam lengkap, bawa pensil 2B dan kartu ujian. Atau mendingan tidak usah ujian”, kata pak Edy sambil memelintir daun telingaku lebih keras.

“iya pak, iya”, kataku sambil berusaha melepaskan diri dari jeweran maut itu.

<b>ESOKNYA    <i><strike></strike></i></b>

Hujan dan tidur adalah dua sejoli yang tak terpisahkan. kombinasi yang pas racikan dari seorang masterpiece kehidupan yang sering kita sebut TUHAN. dan kini, kombinasi itu menggodaku. Akupun melirik kasur buluk yang jebol disana-sini dan tanpa seprai itu. Senyum miring kusunggingkan. Hehehe. Katanya kalau tak berseragam lengkapkan, tak boleh ujian. Pikirku beralasan. Padahal aku hanya ingin kembali meringkuk di atas kasur. Sudah setengah jam kucari dasi sekolahku itu. Namun belum juga ketemu.


Hei! Jangan heran kawan, aku sudah bilang kan sedari awal tulisan ini, aku ini punya karakter yang cuek bebek sekali, apalagi kala itu aku tak begitu paham tentang betapa pentinya ujian nasional itu. Dan kupikir seperti ujian sekolah yang biasanya. Aku bisa ujian susulan nanti ketika masuk.


Jadilah aku melompat keatas ranjang selayaknya kanguru dan memeluk bantal yang tak bisa debut bantal karena sangking tipisnya itu. Menutupkan bantal ke kepalaku dengan penuh kebahagiaan. Selain membaca cerita, hobiku adalah tidur. Tiba-tiba ditengah mimpi indahku makan ayam goreng, terdeng suara pak Edy yang memanggil-manggil. Beh! Ini lagi enak-enaknya makan ayam pak, sedang tidak ingin berbagi dengan siapapun. Kataku kesal. Tiba-tiba pipiku terasa ditepuk-tepuk. Gila saja, rasanya demikian terasa nyata. Tapi itu nyaris tak mungkin. Bagaimana mungkin pak Edy tau rumahku, masuk kedalam dan membangunkanku sendiri. Memang pak Edy tau rumahku. Pikirku asal. Sampai tepukan itu sedikit keras dan terasa lebih ke arah tamparan.


“bangun-bangun. Anak perempuan kok jam segini baru bangun. Cepat bangun, hari ini ujian nasional!”
Pelan-pelan kukucek mataku, pemandangan aneh tapi nyata. Pad Edy ada dirumahku, masuk ke rumah dan membangunkanku di atas kasur bututku. Dan sebelun tanganya bergerak dan menjewerku dengan jeweran cabe rawitnya, aku melompat dari atas kasur dan berkata

“anu pak, anu, dasi saya hilang. Katanya kalau ngak berseragam lengkap tidak boleh ikut ujian”, kataku beralasan.
“Sudah tidak apa-apa, pakai seragam sekolah yang ada saja”, kata beliau cepat.

Lantas dengan menghembuskan nafas panjang akupun beranjak, yah...padahal kan hujan-hujan begini paling enak buat tidur. Ketika memasukan pensil 2B , kartu ujianku secara ajaib raib. Hehe, aku kembali tersenyum, hehehe alamat bisa lanjut tidur ini.

“pak, kartu ujian saja tidak ada.....” kataku pura-pura menyesal.

“wes ndak papa, pokoknya berangkat sekarang, ini kamu sudah telat ujian setengah jam loh”, kata pak Edy tanpa babibu lagi. Dan akupun tak mampu membantah atau beralasan lagi. Ditengan hujan gerimis, aku dibonceng motor jetcolet milik pak Edy.

Ketika aku memasuki ruang ujian, guru penjaga memandangku sambil geleng-geleng kepala, sementara teman sekelas yang lain melihatku dengan pandangan heran. Seolah berkata, masih hidup toh, kupikir sudah terlindas truk, makanya berani datang telat waktu UAN. Sedang aku, hanya cuek, menghampiri guru penjaga, meminta maaf karena terlambat untuk etika kesopanan. Dan berjalan dengan santai menuju bangku tempatku ujian. Yang ternyata berada di tempat paling pojok belakang. Membuatku semakin sukses untuk terkucilkan. Jangankan untuk sekedar mencontek, aku telat, tak sempat dan tak biasa pula mempersiapkan contekan. Jangankan menanyakan jawaban, teman-temanku semuanya pura-pura tuli, bahkan ketika aku hanya hendak meminjam rautan. Sampai akupun meminjam rautan pada guru penjaga ujian. Namun, seolah mendapat ilham, semua soal terasa mudah dan penuh kemantapan kukerjakan. Mungkin kemudahan ini adalah hasil dari kekesalanku pada si waria kemarin, sehingga semalam aku membuka buku kumpulan soal UAN dan mereview pertanyaan dan kunci jawabanya sampai nyaris subuh. Itulah kenapa aku ngantuk sekali pagi ini.

Begitu bel tanda waktu ujian sudah habis dibunyikan, akupun mulai memasukan pensil dan penghapusku ke saku baju. Anak-anak berlarian dan bergerombol di depan kelas mendiskusikan jawaban mereka masing-masing tadi. Tak ada satupun yang menanyakan apa jawabanku, bagaimana perasaanku, atau kenapa aku telat tadi. Aku seolah langsung disangkakan sebagai kelompok sampah yang pasti tak kan lulus ujian. Meski sakit, tapi aku pura-pura tak peduli. Toh pedulipun percuma, malah membuat mereka makin bahagia. Aku beranjak ke kantin, tadi ketika memasukan pensil ke saku, aku menemukan pecahan Rp 500. Tanpa berpikir panjang uang siapa, darimana, dan kenapa tiba-tiba ada disakuku, akupun berucap alhamdulillah karena dapat sarapan pecel di kantin sekolah. Kau tau, mungkin cacing-cacing yang rutin berdemo di perutku sudah merasa lelah karena selalu tak kuacuhkan. Lantas pemimpin mereka memutuskan untuk gerilya dan menginvasi otaku. Itulah kenapa aku lambat berpikir dan sering bertindak impulsif ketika lapar. Hahaha. Imajinasiku sangat tinggi kan.

Ujian sesi kedua kedua kujalani dengan sama lancarnya. Begitu bel tanda selesai dibunyikan. Aku langsung melesat pulang dan tidak ikut berkumpul dengan teman-teman didepan kelas untuk mendiskusikan jawaban ujian mereka tadi. Selain karena bosan tak diacuhkan, kupikir kegiatan itu hanya akan menambah galau tanpa merubah apa-apa. Toh meski tau jawaban kita ternyata salah, kita tidak akan bisa merubah apa-apa. Jawaban yang sudah ditulis dan dikumpulkan itu tidak bisa dirubah lagi. Galau atau tidak galau nilai kita akan tetap sama. Dan tidak galau lebih enak dari galau. Jadi aku memutuskan untuk tidak galau, dan mengantisipasinya dengan tidak turut berdiskusi bersama kelompok galauers. hahaha

    Oiya, sebagai manusia yang dituduh gagal UAN bahkan sebelum pengumuman nilai UAN dikeluarkan, aku memutuskan untuk tidak berharap terlalu banyak, tidak berpikir terlalu banyak, dan tidak menggalau seperti teman-temanku yang notabene memiliki waktu mengerjakan ujian yang lebih banyak dariku. Karenanya, ketika kakeku mendapat bocoran dari guruku bahwa nilai UANku menduduki peringkat tertinggi kedua, aku tidak percaya dan cuek bebek saja. Ah, paling juga gosip lagi. Untuk sekedar melihat nilaiku dipapan pengumuman saja malas. Setelah ujian dan diberi libur panjang. Masa iya aku harus ke sekolah lagi tanpa kepentingan. Sampai ketika aku masuk piket dan melihatnya sendiri di papan pengumuman ruang guru. Namaku jelas tertulis sebagai peringkat no 2. Aku langsung sujud syukur dan berlari pulang kerumah.

    Namun kebahagiaanku itu tidak berlangsung lama. Karena esoknya kakeku mendaftarkanku ke SMPN 1 Ponorogo. SMP terfavorit dikotaku. Gedungnya yang megah sama sekali tak menggiurkanku. Bukan apa-apa, letak SMPN 1 Ponorogo tepat di sebelah SMPN 6 Ponorogo. Itu artinya aku akan tetap bertemu si waria setiap hari. Padahal salah satu hal yang kusyukuri dari momen kelulusanku adalah terbebas dari pembullyan si waria. Selain itu, bulu kuduku sedikit meremang begitu melirik anak-anak yang mendaftar di SMP ini. Semuanya nyaris duplikat si waria, mereka tampak dominan, manipulatif , ceria dan modis. Apalagi melihat mobil-mobil orang tua mereka yang berjajar di parkiran, nyaliku semakin ciut. Tepat di sebelahnya adalah sepeda mini kakeku, yang dipakai memboncengku untuk daftar tadi. Sepeda hitam dan karatan itu tampak sangat kontras bersanding dengan mobil-mobil dan motor para wali murid lainya. Kalian tau alram , menyala dengan keras di otaku, tanda pembullyan besar-besaran akan segera berlangsung. Namun mbahku sama sekali tidak mengindahkan keinginanku untuk segera pulang. Aku hanya menarik nafas panjang dan lelah. Yah, setidaknya 3tahun masa SMP tidak akan selama 6tahun masa SD. Hiburku dalam hati. Sekian.

0 komentar:

Posting Komentar