BERTUMBUH BERSAMA

0 komentar
Yang kuinginkan sederhana saja, bukan sosok sempurna dengan segala kecemerlanganya
. Hanya seseorang yang bisa diajak untuk bertumbuh bersama. Tak hanya sekedar terlewat dan menjadi tua, namun dapat bersama menjadi semakin dewasa. Tak sekedar menumpuk-numpuk harta, namun saling menjaga keidealisan yang ada. Mengingatkan dengan kelembutan dan kesabaran ketika aku salah, dan tak menawarkan lengannya ketika aku marah dan gundah ;p minimal buat samsak tinjulah ahahahaha. Tak terbayang ia datang dengan segala romantismenya, romantis itu relatif, namun bagi saya romantisme sejati adalah seorang sahabat yang bisa diajak bercanda, dan tidak menusuk saya entah didepan ataupun dibelakang. Yang tetap datang meski perlu ataupun tidak perlu. Yang kembali setelah saya demikian emosi. Yang memaklumi meski tak selalu memahami. Ia tak harus sempurna, karena sayapun demikian penuh kekurangan, tapi jelas baik dan datang dengan cara yang baik. Yang menerima saya beserta paket keluarga saya juga paket-paket menyebalkan lainya. Seseorang ketika aku melihatnya akan semakin mendekatkanku pada Allah. Seseorang yang menimbulkan kerinduan dan ketenangan. Sebuah pohon yang cukup teduh dan kokoh untuku bernaung. Dan tentunya, seseorang yang cukup sehat dan sexi agar aku tak harus menjadi janda nantinya, aku tak mau ditinggal mati duluan!. Lelaki mungkin bisa berpikir simple dan mencari pegganti bahkan sebelum lewat 40 hari kematian istrinya, tapi kebanyakan perempuan tidak demikian, termasuk saya! Mati memang urusan Tuhan, tapi sebab-musebabnya adalah sebuah kepastian, makanya, sehat dan sexi adalah sebuah keharusan (bagi saya sekaligus perbaikan keturunan kan, ahahahaha). Hey, tak harus semenggoda iman seperti kang ituk, ataupun selucu dan menggemaskan kang jookwon!, cukup sehat dan sexi saja kok! Semua orang kan bisa asal menjaga pola hidup sehatnya, juga rajin fitnes. Aahahahhahahaha bukan saya kalo akhirnya ngak geje. Sekian.

Kambing congek

0 komentar
Kadang, penghancur impian kita bukanlah siapa-siapa, melainkan orang tua kita sendiri. Mungkin tidak secara langsung, juga tidak disengaja, tapi jelas, sangat luar biasa efektif. Menyaksikan kecurangan yang mereka lakukan dengan gampangnya sementara kita mati-matian mempertahankan idealisme diri di sekolah, secara efektif menjadikan dogma-dogma keadilan bak dongeng pengantar tidur belaka. Miris, namun memang demikian adanya. Ketika kita ketakutan dengan baris-baris kecurangan meski hanya bernilai ratusan rupiah saja, menyaksikan keluarga kita menyodorkan ratusan ribuan agar mendapat berbagai kemudahan terkait birokrasi membuat kita serasa menjadi kambing congek. Bagaimana tidak, bagaimana tidak?!. Ketika kita berpanas-panas mencela pemerintahan yang sadah demikian korup, berorasi dengan lantang dan penuh semangat, menyaksikan orang tua kita sendiri ambil bagian didalamnya.. ah, saya tak mau! Benar-benar tak mau! Bertumbuh menjadi seperti mereka.
Melihat bagaimana mereka, menjadikan saya semakin takut, demikian takut untuk bertumbuh menjadi penerus kekeliruan yang ada. Karena perlahan dan bertahap, tubuh ini seolah secara otomatis mengkopy-paste, tak hanya yang baik, tak sekedar yang baik. Kadang, bahkan terpikir, jika hidup ini lebih baik berakhir jika pada akhirnya hanya terus dan menjadi penerus dosa. Secara pasti, segala impian saa tentang dunia dengan penuh keidealisan semakin samar. Saya merasa lemah dan semakin lemah untuk menjadi agen perubahan. Terkikis dan terpinggirkan, saya menyekap idealisme diri dalam bilik gelap hati, melepaskan keegoisan dan eksistensi. Merasa demikian ambigu dengan nilai-nilai yang dulunya saya percayai bahkan perjuangkan. Merasa semua yang telah terlewat menjadi demikian sia-sia karena tak mengejar ego seperti yang lainya. Ah! Sudah!.